Halo sobat blogger, kali ini saya akan berbagi informasi yang saya beri tema Market Story. Saya coba mengulas berbagai pasar yang ada di sekitar kita, baik yang tradisional, modern, besar, kecil, harian maupun mingguan. Pagi sabtu saya berkunjung ke sebuah pasar yang bernama Balai Sabtu di Ranah Batu Lintau.
|
Pasar Sabtu Tampak Depan |
Keberagaman pasar sabtu menjadi salah satu keunikan tersendiri, pembeli bisa memilih banyak barang dalam satu pasar yang kecil. Saya membeli satu ekor ayam kampung berukuran sedang dengan harga penawaran 25.000 rupiah yang akhirnya saya tawar dan saya mendapatkan harga 23.000 rupiah, sedangkan di tempat lain saya baru bisa mendapatkan ayam kampung ukuran sedang dengan harga 25.000 – 30.000 rupiah.
Sejauh pengetahuan saya dan informasi dari berbagai sumber, pasar sabtu merupakan pasar yang sangat besar dan sangat berjaya di masa nya. Lantas apa yang menjadikan pasar yang sempat dicap sebagai pasar terbesar ini semakin ditinggalkan?
Kita kembali ke tahun 1958, pasar ini merupakan pasar besar khusus hari sabtu di Lintau. Berdasarkan hasil wawancara saya dengan Pak Jamain, S.Pd, sejarawan di daerah ini saya mendapatkan beberapa keterangan. Tak seperti sekarang, dahulu pasar ini memiliki pangsa pasar yang besar. Kejadian yang tidak diduga membuat pasar ini mati selama beberapa tahun. Sobat blogger mungkin pernah belajar sejarah dan tahu tentang PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Pusat PRRI pada waktu itu ada di Sumatera Barat dengan pimpinan tertinggi bernama Ahmad Husein. Daerah para pemimpin-pemimpin PRRI salah satunya adalah Lintau. Pemerintah Indonesia menyerang PRRI lewat udara pada hari sabtu, karena waktu itu GPS belum ada, jadi mereka tidak bisa menentukan titik-titik potensial untuk menyerang. Para pilot melihat keramaian di pasar sabtu dan membom tempat tersebut. Sejak saat itu pasar terbesar di Lintau ini mulai suram. Memang masih terlihat geliat transaksi tetapi itu pun tidak berlangsung lama, hanya sampai tahun 90-an.
Di hari sabtu itu juga saya berbincang dengan salah satu pedagang kelontong bernama Ibu Eti, Ibu Eti sudah berdagang selama puluhan tahun di pasar sabtu. Biasanya dia selalu berpindah-pindah sesuai dengan hari pasar yang ada di Lintau ini. Selasa, Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu adalah hari-hari pasar di Kecamatan ini. Pada hari-hari tadi Ibu Eti berdagang, berangkat dari rumahnya pada pagi hari dengan mobil sewaan. Ibu Eti merasakan perbedaan yang sangat signifikan antara pasar sabtu dengan yang lainnya. Omzet Ibu Ety sendiri berkisar antara 600.000 – 700.000 rupiah di Pasar Sabtu, berbeda dengan pasar lain dimana ia bisa mendapatkan omzet sampai dengan 5.000.000 rupiah. Pasar ini semakin ditinggalkan konsumen, bahkan sebagian warga tidak tahu kalau ada pasar disana. Sungguh tragis bagi sebuah pasar yang merupakan pasar terbesar dalam sejarah.
Lantas siapakah yang bisa mengembalikan kejayaan tersebut? Tentu saja orang-orang yang berteman dengan sejarah.
Terima Kasih
*semua gambar diambil menggunakan Kamera Mini DV
Tidak ada komentar:
Posting Komentar