Hari kedua, aku merasa cukup tenang. Rapuh didalam? iya. Tapi aku tetap berusaha tenang, agar keputusan yang kuambil adalah keputusan final yang terbaik.
Di pagi hari, aku tiduran sebentar, karena masih ngantuk akibat terjaga sampai jam 3 pagi. Aku baru mulai keluar untuk melanjutkan aktifitas di jam 9 pagi. Melanjutkan kerja di Sribulancer, sarapan dan pergi ke Perpustakaan Daerah. Aku datang kesana bukan untuk menenangkan diri, tapi untuk menyelesaikan urusan. Aku sedang merancang satu pelatihan fotografi, bekerja sama dengan Perpustakaan Daerah.
Setibanya disana, aku dan rekanku menemui bagian umum dan berdiskusi dengan salah satu pegawainya. Ditengah percakapan, ada panggilan masuk. Aku merogoh tas ku dan meminta ijin untuk keluar sebentar. Kulihat layar hape ku, Ika. Kenapa secepat ini? Bukankah kita akan berdiam diri selama empat hari? Aku menjawab nya dengan tenang.
Ika menanyakan kabarku, menanyakan apa yang sedang kulakukan sekarang. Aku menjawab, "lagi di Pusda, ngurus surat". Kemudian kami ngobrol lebih dalam, tentang masalah yang kami hadapi. Ika semakin ragu, ia memang lebih memilih orang lain dibanding aku. Tapi, ia tidak rela jika aku nanti dengan yang lain. "Aku yang bersama dengan mu selama 6 tahun terakhir, kita tumbuh bersama. Aku berperan besar membentuk karakter mu yang sekarang. Aku gak rela jika nanti kamu dengan yang lain." begitulah ucapannya. Obrolan kami terhenti karena Ika harus kembali bekerja, dan aku pun masih ada diskusi disini.
Aku kembali ke dalam ruangan bagian umum. Pikiranku jadi tidak fokus, kata-kata yang keluar dari salah satu pegawai bagian umum. Kata-katanya terdengar seperti air mengalir. Untungnya rekanku masih terus menjawab dan bercengkrama. Setelah itu kami diminta mengajukan surat permohonan.
Kami kembali, menuju rumah rekanku. Disana ia bertanya, apa yang terjadi denganku. Karena ia juga salah satu sahabat yang kupercaya, kuceritakan semuanya. Yang namanya sahabat dekat, tau sendiri responnya kayak gimana, ketawa terbahak-bahak. Tapi kemudian ia berkata serius, "Aku juga pernah mengalami hal yang sama". Ya, aku ingat dengan nama yang ia sebutkan. Sedikit banyak aku tahu bagaimana kisah mereka. Si cewek sudah menikah dengan orang lain, dan temanku memutuskan untuk sendiri dulu, sampai akhirnya nanti dia memang memutuskan membuka diri untuk orang lain. Dia tetap merasa tegar, tidak ada penyesalan. Justru, si cewek lah yang tampaknya menyesal. Tapi, keputusan sudah diambil, dan semua sudah berlalu. Dia menyarankan ku untuk tetap tenang, karena laki-laki lebih bisa mengontrol emosi. Aku sudah dalam keadaan tenang, sampai Ika menghubungi ku, padahal baru satu hari.
"Halo", kata pembuka dari ujung sana. Kami ngobrol cukup lama, sekitar setengah jam. Intinya, Ika sudah membuat pilihan. Hari pertama, ia masih ragu, 50:50. Hari ini, sudah 52:48. Tentu saja yang 48% nya adalah aku. Aku tak bisa berkata apa-apa, tak punya pembelaan, hanya pasrah. Kemudian, Ika kembali berkata, ia akan menelepon ayahnya terlebih dahulu. Kalau aku masih berniat dengannya, Ika menyuruhku untuk menemui papanya. Sekali lagi, aku berkata, tak ada pembelaan. Walaupun Ika lebih condong ke pilihan barunya. Tapi dia tetap terisak karena memikirkan nasibku kedepan. Aku sendiri tidak ada kendala, jika memang Tuhan mengirimkan orang lain, aku menerima nya. Jika tidak, kujalani hidup sendiri.
Aku kembali ke dalam rumah temanku. Ia kembali memberi saran, "Biarkan saja semua ini terjadi. Jalani aja dulu". Ya, ya, ya, jalani aja dulu. Aku kembali melanjutkan aktifitas, membuat surat. Jam 3 sore, kami berdua kembali ke Perpustakaan Daerah untuk memberikan surat.
Setelah urusan di Perpustakaan Daerah selesai, aku dan temanku pergi ke Warung Lekker. Disana kami bertemu Andre, Faris dan Ika Menot (ada dua Ika). Andre mengajak motret, aku dan temanku mengiyakan. Kami memotret sepanjang Pantai Padang, memutar ke Plaza Andalas. Ya, memotret membuatku lebih tenang, seakan lupa dengan masalah yang ada, walau sementara. Sekembalinya ke Warung Lekker, ada panggilan masuk, Ika.
Bersambung ke Tuhan Bekerja Secara Rahasia, DAY 3
"Halo", kata pembuka dari ujung sana. Kami ngobrol cukup lama, sekitar setengah jam. Intinya, Ika sudah membuat pilihan. Hari pertama, ia masih ragu, 50:50. Hari ini, sudah 52:48. Tentu saja yang 48% nya adalah aku. Aku tak bisa berkata apa-apa, tak punya pembelaan, hanya pasrah. Kemudian, Ika kembali berkata, ia akan menelepon ayahnya terlebih dahulu. Kalau aku masih berniat dengannya, Ika menyuruhku untuk menemui papanya. Sekali lagi, aku berkata, tak ada pembelaan. Walaupun Ika lebih condong ke pilihan barunya. Tapi dia tetap terisak karena memikirkan nasibku kedepan. Aku sendiri tidak ada kendala, jika memang Tuhan mengirimkan orang lain, aku menerima nya. Jika tidak, kujalani hidup sendiri.
Aku kembali ke dalam rumah temanku. Ia kembali memberi saran, "Biarkan saja semua ini terjadi. Jalani aja dulu". Ya, ya, ya, jalani aja dulu. Aku kembali melanjutkan aktifitas, membuat surat. Jam 3 sore, kami berdua kembali ke Perpustakaan Daerah untuk memberikan surat.
Setelah urusan di Perpustakaan Daerah selesai, aku dan temanku pergi ke Warung Lekker. Disana kami bertemu Andre, Faris dan Ika Menot (ada dua Ika). Andre mengajak motret, aku dan temanku mengiyakan. Kami memotret sepanjang Pantai Padang, memutar ke Plaza Andalas. Ya, memotret membuatku lebih tenang, seakan lupa dengan masalah yang ada, walau sementara. Sekembalinya ke Warung Lekker, ada panggilan masuk, Ika.
Bersambung ke Tuhan Bekerja Secara Rahasia, DAY 3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar