Hai, selamat pisang, aduuh pisang ini panas sekali ya.
Sudah lama rasanya aku tidak menulis disini, ya di rumahku ini. Hanya share video dari youtube, itupun bulan lalu. Tapi yang namanya rumah, akan selalu dikangeni. Eh ini btw ngerti gak ya, yang kumaksud rumah itu ya blog ini. Kenapa? Bagiku rumah adalah tempat aku bisa ngapain aja, karena aku yang punya. Bedanya kalau di rumah asli, ada orang tua. Disini ada google yang akan selalu mengawasi anak-anaknya, kalau ada yang memuat konten dewasa, langsung dikasih label dewasa.
Saat ini aku juga menjadi penulis di http://maklumfoto.wordpress.com, tidak mudah menulis disana, karena aku mewakili satu organisasi atau kelompok, bukan diriku sendiri. Jadi aku harus tetap hati-hati dalam merangkai kata, untungnya para pembaca disana sudah spesifik dari segi hobi dan rentang usia. Aku sangat yakin pembaca yang berusia dibawah 18 tahun pasti sangat sedikit.
Kali ini aku mau bahas apa ya? Entahlah, aku bingung dengan apa yang ingin kubahas. Biasanya aku selalu punya topik utama untuk diulas, tapi saat ini seorang beberapa topik berbeda ingin keluar dari otak agar bisa dijadikan tulisan. Ah, sebaiknya kujadikan beberapa tulisan saja, semoga pembaca nya lebih banyak dibandingkan jika kugabung semua tulisan itu.
Judulnya Etika - Estetika. Kenapa pakai tanda "-"? Kenapa bukan "&"? Aku cuma membayangkan dua hal ini seharusnya ada dalam satu jalur, saling melengkapi satu sama lain, layaknya pasangan ideal, Young Lex feat Awkarin, ah .... bukan yang itu. Tidak banyak tulisan dengan istilah-istilah seperti ini dalam blog ku. Aku hanya memperlakukannya sebagai catatan harian biasa, untuk tema yang berat-berat, biasa nya kutulis di MaklumFoto atau StreetPhotoHunters.
Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata ethos yang berarti adat kebiasaan tetapi ada yang memakai istilah lain yaitu moral dari bahasa latin yakni jamak dari kata nos yang berarti adat kebiasaan juga. Akan tetapi pengertian etika dan moral ini memiliki perbedaan satu sama lainnya. Etika bersifat teori sedangkan moral bersifat praktek. Etika mempersoalkan bagaimana semestinya manusia bertindak sedangkan moral mempersoalkan bagaimana semestinya tindakan manusia. Etika hanya mempertimbangkan tentang baik dan buruk suatu hal dan harus berlaku umum. Secara singkat definisi etika dan moral adalah suatu teori mengenai tingkah laku manusia yaitu baik dan buruk yang masih dapat dijangkau oleh akal. Moral adalah suatu ide tentang tingkah laku manusia ( baik dan buruk ) menurut situasi yang tertentu. Jelaslah bahwa fungsi etika itu ialah mencari ukuran tentang penilaian tingkah laku perbuatan manusia ( baik dan buruk ) akan tetapi dalam prakteknya etika banyak sekali mendapatkan kesukaran-kesukaran. Hal ini disebabkan ukuran nilai baik dan buruk tingkah laku manusia itu tidaklah sama ( relatif ) yaitu tidal terlepas dari alam masing-masing. Namun demikian etika selalu mencapai tujuan akhir untuk menemukan ukuran etika yang dapat diterima secara umum atau dapat diterima oleh semua bangsa di dunia ini. Perbuatan tingkah laku manusia itu tidaklah sama dalam arti pengambilan suatu sanksi etika karena tidak semua tingkah laku manusia itu dapat dinilai oleh etika.
Pusing gak tu? Paragraf diatas memang kusalin dari blog lain, karena ilmu ku gak nyampe sana, aku cuma tau etika adalah bagaimana cara bertindak dan memaknai sebuah hal dalam satu kondisi tertentu.
Etika membahas masalah tingkah laku perbuatan manusia (baik dan buruk). Sedangkan estetika membahas tentang indah atau tidaknya sesuatu. Tujuan estetika adalah untuk menemukan ukuran yang berlaku umum tentang apa yang indah dan tidak indah.
Seperti dalam etika dimana kita sangat sukar untuk menemukan ukuran itu bahkan sampai sekarang belum dapat ditemukan ukuran perbuatan baik dan buruk yang dilakukan oleh manusia. Estetika juga menghadapi hal yang sama, sebab sampai sekarang belum dapat ditemukan ukuran yang dapat berlaku umum mengenai ukuran indah itu. Dalam hal ini ternyata banyak sekali teori yang membahas mengenai masalah ukuran indah itu. Zaman dahulu kala, orang berkata bahwa keindahan itu bersifat metafisika ( abstrak ). Sedangkan dalam teori modern, orang menyatakan bahwa keindahan itu adalah kenyataan yang sesungguhnya atau sejenis dengan hakikat yang sebenarnya bersifat tetap.
Dan paragraf diatas pun ikut disponsori oleh blog lain, itu lah gunanya CTRL+C dan CTRL+V. Selain dua istilah diatas, ada satu istilah lagi yang (secara tidak sengaja) kutemukan saat sedang menyaksikan keseruan komentar-komentar yang tersaji di status beberapa orang rekan di buku wajah, namanya aksiologi. Aksiologi membahas tentang hubungan etika dan estetika. Dua Puluh Tiga Oktober Dua Ribu Enam Belas jadi hari yang cukup panjang. Ada dua event besar yang berkaitan dengan Street Photography di hari tersebut. Aku sendiri mempersiapkan diri untuk acara PadEeH yang ke empat di hari itu, btw yang tidak tahu, PadEeH adalah nama event tahunan hunting street photography di Padang yang diprakarsai oleh FNSH (FotograferNet Street Hunting). Ini kali keduanya aku jadi koordinator acara ini, bedanya tahun lalu aku masih berada di bawah bendera Street Photo Hunter. Tahun ini, aku tidak lagi menjadi bagian pemburu tersebut. Tahun ini aku bersama dengan 'anak' ku yang sempat kubesarkan di Street Photo Hunter. Walau sudah gonta ganti nama, tapi tetap saja akar dari Street Photography Festival Indonesia adalah Padang Street Expo.
Harusnya kita kembali ke Etika - Estetika, aku sudah membuang waktu kalian, para pembaca, cukup lama untuk sekadar nostalgia. Di buku wajah, aku menemukan status seorang rekan dengan caption "Ternodanya Street Photography!", tentunya disertai visual yang membuat kita disuruh berpikir, dan juga penasaran. Btw ini sebenarnya rahasia, tapi aku tak tahan ingin membeberkannya, om Chris Tuarissa adalah seseorang dengan rasa penasaran level tinggi. Yap, next lanjut lagi ya, cukup segitu, aku tak akan meneruskan bagian terakhir itu. Status tadi dipost oleh seorang fotografer senior dari Pasuruan, untuk kebaikan kita bersama aku gak akan kasih tau namanya. Yang jelas depannya Yanto, belakangnya Nius, gitu deh kira-kira.
Setelah melihat itu, aku pun melihat rentetan-rentetan status lainnya, yang menurutku masih berhubungan. Bagi street photographer yang aktif di sosial media, nimbrung di status-status ini adalah daya tarik nomor 1, ketimbang youtube fanfest dengan kontroversi kubu positif dan kubu negatifnya. Tapi status yang paling menohok bagiku adalah "street settingan". Semua status dan komentar tadi, intinya membahas street settingan.
Well, street settingan kuartikan sebagai street photography yang (subjeknya) di setting, baik itu pose atau dari segi penyediaan properti. Street photography yang di setting, tak ubahnya sepert perpustakaan yang ribut, atau pertandingan sepakbola tanpa kartu merah. Kau mengerti maksudku? Jika tidak, belajarlah analogi, kalau perlu lengkapi dengan satir dan sarkasme.
Sebelum mendalami street photography, aku belajar landscape photography, nature photography, conceptual photography, still-life photography dan macro photography. Untuk kategori yang dituliskan terakhir, aku gagal melakukannya, karena macro benar-benar membuatku bingung, mungkin bakatku tidak disana. Salut dengan teman-teman yang bisa memotret 'teman-teman kecil' dalam semak belukar. Conceptual photography, aku sangat kuat disana, setidaknya menurut beberapa orang rekan yang memperhatikanku. Conceptual on the street memang dikenal dalam fotografi, tetapi istilah itu adalah bagian dari conceptual photography. Bagiku, street settingan = conceptual on the street. Conceptual on the street = conceptual photography. Street settingan = conceptual photography. Ini pendapatku, yang didasarkan banyak tulisan tentang Conceptual Photography, Ve Danito adalah idolaku untuk genre yang satu ini.
Permasalahan dan perdebatan muncul karena street settingan dimasukkan sebagai street photography. Padahal sudah ada ketentuan dan batasan-batasan untuk masing-masing genre. Bukankah tujuan kategori/ genre adalah untuk mempermudah kita untuk membaginya sesuai dengan visi misi pengelompokan itu?
Ada banyak definisi Street Photography yang kita temukan, baik di internet maupun forum-forum diskusi. Tapi pada dasarnya, tujuan dan visi misinya sama. Kamu bisa cek beberapa definisi street photography di
link ini. Penjelasan dari Setia Nugraha adalah yang paling mewakili menurutku. Cermati poin kedua dari penjelasan Setia Nugraha, "Keadaan/kejadian yang tidak dibuat-buat, melainkan spontanitas, tetapi bisa jadi kedaan yang di harapkan, ataupun keadaan/kejadian yang kebetulan (decisive moment)". Di ruang publik, kita pasti bersinggungan dengan subjek manusia, mengambil gambar dengan cara candid dan/atau menggunakan pendekatan komunikasi terlebih dahulu adalah cara untuk mendapatkan momen yang ingin dipotret. Yang penting tidak mengarahkan gaya atau pose subjek. Itu termasuk ke dalam etika dalam street photography.
Menghasilkan karya yang berkualitas dan punya estetika, haruslah tetap memperhatikan aspek etika. Foto mu boleh liar, indah, menawan dan menakjubkan, tetapi ada batasan yang harus kau perhatikan. Itulah tantangannya, itu lah yang akan menjadikanmu fotografer yang berkualitas. Berkualitas di semua aspek penciptaan karya, input-proses-output. Kepuasannya pasti beda dengan karya bernama street settingan, jikalau dikategorikan ke dalam street photography, karena kau membohongi salah satu kriteria pembentuk karya Street Photography, dan itu vital bung. Kecuali kau memang menghadirkannya sebagai salah satu karya Conceptual Photography. Konsep yang bagus, akan menghasilkan kepuasan.
|
Kuniadi Ilham. Payakumbuh. 2015 |
Foto diatas, bagaimana menurutmu. Ini foto yang kuambil tahun lalu, saat aku dan teman-teman SPF Indonesia melakukan penelitian karakter daerah dengan pendekatan Street Photography. Apakah menurutmu foto ini dikonsep? Beberapa orang yang mengetahui aku adalah fotografer konseptual di masa lalu, mungkin akan berkata, foto ini dikonsep, disetting. Tapi kau boleh bertanya pada teman-temanku yang ada disana, apa yang sebenarnya terjadi. Aku bahkan juga menuliskan bagaimana foto ini bisa tercipta di
Street Photography Composition Series: Self-portrait. Ketika aku mendapatkan email dari kujaja.com bahwa aku terpilih menjadi salah satu nominasi WSP Award 2016, aku tentu saja gembira. Karena apa? Karena aku menikmati prosesnya, dan aku benar-benar berada di dalamnya (street photography), sungguh sebuah kepuasan.
Penghargaan ini, membuatku semakin terpacu untuk lebih giat dan bersemangat. Hal yang sama akan terjadi di dunia street settingan, jika mereka mendapatkan pujian dan penghargaan, mereka akan bersemangat, untuk melanjutkan street settingan.
Etika dan Estetika akan selalu berdampingan, saling melengkapi satu sama lain. Jangan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan hasil yang indah, begitu juga sebaliknya, semua sudah ada porsinya. Keduanya membentuk keseimbangan, Yin & Yang. Adapun akibat yang muncul karena fenomena ini adalah karya street photography (tanpa settingan) yang menawan, akan dianggap settingan. Hal ini menimbulkan dampak terhadap fotografer, boleh jadi timbul rasa tidak percaya diri, hilangnya semangat, hingga perselisihan, yang akan berujung permusuhan. Akibat lainnya adalah akan banyak bermunculan pakem-pakem baru yang menentang batasan, sehingga tidak relevan lagi dengan street photography sebagaimana mestinya. Forum kritik akan mengalami pengkerdilan, viral dan hits menjadi acuan. Ini akan jadi pekerjaan rumah bagi kita bersama, khususnya para pelaku yang terlibat langsung di dalamnya.
Aku tidak bertujuan untuk membuat kalian setuju denganku. Melalui tulisan ini aku hanya ingin menyampaikan opini ku, berdasarkan data-data yang kupunya tentang street photography, dan juga sebagai tanggapan atas kejadian yang terjadi di lapangan. Hanya satu kata untuk penutup tulisan ini. CERDASI!