Manipulasi adalah sebuah proses rekayasa dengan melakukan penambahan, pensembunyian, penghilangan atau pengkaburan terhadap bagian atau keseluruhan sebuah realitas, kenyataan, fakta-fakta ataupun sejarah yang dilakukan berdasarkan sistem perancangan sebuah tata sistem nilai, manipulasi adalah bagian penting dari tindakan penanamkan gagasan, sikap, sistem berpikir, perilaku dan kepercayaan tertentu.
Oke, sebelumnya aku membahas tentang fenomena ‘street settingan’ yang terjadi di dunia fotografi, khususnya Indonesia. Kali ini aku ingin membahas hal lain, yang ingin dikeluarkan dari otakku. Dari judulnya, mungkin kamu akan berasumsi bahwa tulisanku berkaitan dengan politik, pemilihan kepala daerah, dan jabatan. Tapi semua itu salah, karena aku ingin membahas tentang Halal Tourism.
Namaku Kurniadi Ilham, berdomisili di Padang, asli Payakumbuh dan KTP ku Tanah Datar. Yang ingin kujabarkan dibawah ini adalah tentang Halal Tourism (Pariwisata Halal), dimana Sumatera Barat menjadi nominasi di beberapa kategori. Tulisan ini (sekali lagi) kulabeli 18+, bukan karena konten vulgar, tetapi butuh pemikiran yang dewasa dan luas untuk menanggapinya. Aku menulis disini, di blog ini, karena ini adalah rumahku di dunia maya. Aku menyewa rumah dari Google, tepatnya bloggerdotcom, yang menyediakan rumah gratis.
Kenapa aku tak ikut memilih. Memilih apa? Memilih siapa? Jawabannya memilih, atau lebih tepatnya memberikan vote untuk Sumatera Barat di ajang pemilihan Best Halal Tourism di beberapa kategori. Karena ..... Lebih baik aku memulai nya dari awal.
Aku mengetahui Halal Tourism dari dunia maya, awalnya aku tak begitu mengerti Halal Tourism itu apa. Aku mencari tahu dari beberapa situs tentang itu, dan mendapatkan beberapa penjelasan. Kemudian, disalah satu situs, aku menemukan tulisan “Syariah atau Moslem-Friendly?”. Dua hal ini jelas berbeda, walau tak bisa dipisahkan satu sama lain. Pariwisata yang syariah berarti wisata yang menggunakan kaidah-kaidah Islam dalam pelaksanaannya, contohnya Hotel Syariah. Sedangkan Pariwisata yang moslem-friendly adalah wisata yang ramah terhadap umat muslim, contohnya adalah tempat-tempat wisata yang memiliki fasilitas mesjid atau mushalla. Tak lama setelah aku membaca tulisan itu, aku membuka facebook dan menemukan satu postingan tentang polisi pantai di Prancis menghampiri pengunjung yang memakai burkini (pakaian pantai untuk muslimah), kemudian menyuruhnya untuk membuka burkini tersebut, agar sama dengan pengunjung lain yang memakai bikini. Disini aku berkesimpulan bahwa kejadian tersebut tidak ‘moslem-friendly’.
Kembali ke Halal Tourism. Aku mendapatkan pesan dari salah seorang teman, ada sosialisasi Halal Tourism di Hotel Ibis Padang, mengundang blogger, media massa dan content-creator. Kemudian aku mendaftarkan diri, agar bisa mengikuti acara tersebut. Aku masih penasaran dengan Halal Tourism, pastinya disana ada jawaban yang jelas. Ternyata, acara tersebut diundur selama seminggu dan lokasi nya dipindahkan ke Hotel Inna Muara. Aku sudah mendapatkan konfirmasi dari penyelenggara kegiatan. Mereka juga mengirimkan beberapa file ke emailku, isinya adalah susunan acara dan juga nama-nama narasumber yang akan mengisi acara tersebut. Tema kegiatannya adalah “Optimalisasi Peningkatan Wisata Halal Melalui Media Sosial”, diselenggarakan oleh Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, Kementrian Pariwisata.
Aku mendapatkan banyak sekali informasi tentang Halal Tourism disana. Mereka pun ikut menghadirkan pelaku-pelaku yang ikut terlibat dalam pemenangan Lombok di World Halal Tourism Award. Halal Tourism sebenarnya bukan Syariah VS Moslem-Friendly, melainkan gabungan keduanya. Syariah, yang sudah tentu moslem-friendly. Pernyataan dari beberapa narasumber mematahkan artikel tentang “Syariah VS Moslem-Friendly”. Di tahun 2016, Sumatera Barat sudah memenangkan Halal Tourism Award tingkat Nasional untuk empat kategori. Dari mulai kategori Biro Perjalanan Wisata Halal Terbaik, Destinasi Wisata Halal Terbaik, Restoran Halal Terbaik, dan Destinasi Kuliner Terbaik, berhasil disambar Sumatera Barat. Tentunya ini sebuah prestasi yang bagus dari Sumatera Barat. Apalagi kuliner, siapa sih yang tidak kenal rendang dan nasi padang?
Masuk ke sesi tanya jawab, beberapa peserta diskusi mulai mengajukan pertanyaan. Dibalik semua prestasi itu, kita tentu tak bisa menutup mata terhadap kelemahan-kelemahan pariwisata di Sumatera Barat. Sampah, toilet, pungli, sampai ke posisi content-creator dalam forum ini. Aku mengharapkan jawaban terbaik. Tak hanya itu, aku juga mengharapkan adanya tanya jawab yang sehat, yang bertujuan mencapai hasil yang bagus. Dan ternyata banyak sekali jawaban dan tanggapan yang hadir, aku mengapresiasinya. Kita harus sama-sama membenahi hal itu, mulai dari diri kita sendiri, saling gotong royong. Untuk sampah, akan disediakan banyak tempat pembuangan sampah. Toilet akan dibangun sesuai dengan standar syariah, begitupun tempat ibadah. Untuk pungutan liar, harusnya tidak ada lagi, oknum-oknum yang bermain curang harus ditindak. Posisi content-creator adalah sebagai perpanjangan tangan Kementrian Pariwisata untuk mensosialisasikan Pariwisata Halal kepada masyarakat, dan mengajak masyarakat untuk vote. Obrolan semakin panjang, sampai akhirnya. Pernyataan defensif pun muncul seperti, “Pariwisata kita tak sepenuhnya dikuasai pemerintah, sulit untuk menjangkau beberapa kawasan”, “Perlihatkan yang bagus-bagus saja, yang jeleknya jangan”, “Kalau kamu cinta Sumatera Barat, ayo vote, bersama kita menangkan Sumatera Barat”.
Apa maksud semua ini? Setelah itu, salah satu pembicara membeberkan bagaimana cara memenangkan Sumatera Barat melalui media sosial. Para content-creator ‘dipaksa’ membuat tulisan bagus dan persuasif. Ia memberikan contoh, Joko Widodo, Presiden RI. Jokowi kuat di sosial media, itu adalah salah satu faktor yang membuatnya menang. Ia juga menjelaskan beberapa cara, yang semuanya hampir sama dengan sistem yang diterapkan Stan Greenberg. Cara itu memang bagus, tapi mempunyai kelemahan. Kelemahannya adalah masyarakat akan kecewa, jika ekspektasi berbanding terbalik dengan realita. Beberapa orang mungkin menerima dengan senang hati karena bantuan dorongan pikiran “Cinta Sumatera Barat = Ayo vote, ayo share, ajak teman-teman”. Maaf, aku tak bisa melakukannya, aku bukanlah orang yang cinta buta dengan Sumatera Barat. Aku mencintai tempat ini, dan aku peduli dengannya.
Setiap content-creator punya alasan yang jelas ketika mengkampanyekan sebuah program. Jika program tersebut bagus, sesuai dengan realita, dan menghasilkan dampak yang besar. Pasti ia akan mati-matian mengajak orang untuk ikut dengannya. Begitu pula sebaliknya. Kamu mungkin pernah melihat beberapa youtuber yang mengajak kita memilih ini atau memilih itu, di masa pemilihan Presiden. Saat ini, beberapa diantara mereka menyesal, bahkan ada yang menghapus videonya. Akhirnya mereka harus membuat video klarifikasi bahwa mereka menyesal mendukung salah satu kandidat, dan menyesal karena sudah mengajak subscriber nya untuk ikut dengan pilihannya. Mungkin kamu (pembaca) masih bingung dengan yang kujelaskan, karena aku masih menyinggung kulit. Tak ada pilihan lain, aku harus menjelaskannya secara jelas. Alam Sumatera Barat memang indah, sumber daya alam kita tiada tandingannya. Tapi kamu pasti bisa melihat jelas, sampah di pantai padang, pungli di pantai padang. Apakah aku harus memperlihatkan yang bagus saja? Kemudian bule-bule Dubai itu datang kesini dan berkata “so beautiful” dan kemudian mereka kecewa dengan keadaan disana. Apa yang terjadi selanjutnya? Kalau aku sih, mending gak balik lagi kesana, kasih tau teman-teman, jangan kesana. Apalagi jika yang datang adalah travel blogger dari luar negeri, bisa kamu bayangkan, apa yang akan dia tulis nanti. Bisakah Deputi Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Nusantara, Kementrian Pariwisata mengatakan kepadanya, “tulis yang bagus-bagus saja ya, yang jelek-jelek jangan”.
Di Bulan Agustus kemarin, aku menjadi mentor seorang mahasiswa dari St. Pauli University bernama Ryuki Fujita. Aku dan temanku Ijul mengajarkannya fotografi, videografi, menulis artikel dan public speaking. Ryuki berbagi cerita denganku tentang pengalamannya ikut di program ‘Lead the tourism’. Sebelum datang ke Sumatera Barat, ia mencari tahu tentang Sumatera Barat dari internet. Kemudian ia mendapatkan beberapa informasi dan memberikan reaksi. Ia menyukai pemandangan di Sumatera Barat, tapi juga takut terhadap gempa dan terorisme. Disaat ia sudah tiba di Sumatera Barat, ia menjelajahi beberapa daerah, dan kemudian ia menyadari ia salah. Pemandangan di Sumatera Barat memang indah, tetapi tidak dengan sampahnya. Disini juga tidak ada teroris, yang ada hanya orang-orang lokal yang ramah. Dan Ryuki sangat suka untuk ngopi di warung kopi kecil, karena bisa ngobrol dengan orang-orang disana. Aku memberitahunya, “Filosofi warung kopi adalah, it’s not about the coffee, it’s about conversation with strangers”. Kemudian ia berkata “Kenapa kamu tidak mengandalkan itu? Keramahan penduduk. Itu akan jauh lebih baik dibandingkan kamu mengutamakan alam yang bagus. Maaf, Pantai Muaro Lasak adalah tempat yang tidak menyenangkan. Aku hanya menemukan ketenangan ketika kamu membawaku ke Pantai Universitas Bung Hatta. Dan aku heran disaat kamu berkata tempat ini bukan destinasi wisata. Karena tempat ini jauh lebih bagus dibandingkan dengan Muaro Lasak”.
Kembali ke Halal Tourism. Aku tak mau menjadi tim hore-hore saja. Jika aku tak berada di pihak yang memberi suara untuk Sumatera Barat, itu bukan berarti aku tidak peduli dengan tempat ini. Justru orang-orang yang berdiri di tempat yang sama denganku, adalah orang yang sangat peduli akan daerahnya. Jika ingin mendatangkan turis dan traveller, sebaiknya benahi dulu semuanya. Sehingga semua merasa senang, aman dan nyaman. Program-program pemerintah kita bagus-bagus, beberapa diantaranya sangat-sangat kreatif, sayang eksekusinya lemah. Belum saatnya Sumatera Barat mendapatkan Award seperti ini, khususnya untuk World Best Halal Destination. Jika pengunjung datang dan kecewa (bahkan tidak datang sama sekali), siapa yang akan merana? Kita semua. Hotel akan sepi, karena sepi nya wisatawan mancanegara, bukan tidak mungkin wisatawan lokal juga tidak akan berkunjung. Nelayan akan sedih, walau hasil tangkapannya banyak, hotel tak lagi meminta suplai yang banyak. Perusahaan tour & travel akan mengalihkan target market mereka hanya untuk wisatawan lokal. Kuliner terbaik Sumatera Barat, rendang dan nasi padang akan kembali dinikmati oleh masyarakat kita saja. Semuanya terkena dampak, jika Brand sudah jatuh.
Di akhir tulisan ini, aku hanya ingin berkata. Ini lah alasanku, kenapa aku tak ikut memilih Sumatera Barat di World Halal Tourism Award 2016. Aku tak mengajakmu untuk setuju denganku, jika kamu punya pilihan berbeda, tak akan jadi masalah. Kita takkan bermusuhan, perbedaan pendapat itu biasa. Aku suka Mie Sedap, kamu suka Indomie. Vote atau tidak adalah hak prerogatif teman-teman.
Satu kata pamungkas untuk penutup. CERDASI!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar