Selamat malam
Malam ini saya mau membahas tentang street photography (lagi), namun tidak seperti beberapa tulisan saya sebelumnya di blog ini, di blog street photography festival atau bahan workshop. Saya ingin mengangkat sesuatu yang berbeda diluar teknis ataupun komposisi. Kali ini agak lebih emosional karena lebih kepada pribadi seorang street photographer.
Saat pertama saya menggeluti dunia fotografi, dalam benak saya yang terpikir adalah yang penting suka dulu, baru kemudian kita menggali lebih dalam dan lebih dalam lagi tentang ilmunya. Namun banyak yang merasa bahwa fotografi justru menjadikan dirinya terpaku dengan kehidupan sosial nya, pergaulan, gengsi, dll. Kita merasa diri kita berubah menjadi orang lain, berubah menjadi apa yang 'kebanyakan' inginkan, berubah menjadi power ranger. Bukan ya, yang terakhir tadi saya cuma mengada-ada.
Saya berani mengatakan diri saya saat ini adalah seorang hobiis street photography karena genre ini membuat saya menjadi diri saya sendiri. Karya street photography seseorang selalu mencerminkan pribadinya, keluh kesahnya, pandangannya terhadap dunia, dan sebangsanya. Saya tak menampik bahwa genre lain juga 'seperti itu', mencerminkan pandangan fotografernya, tapi street photography saya rasa adalah yang paling pas untuk mewakili itu semua.
Kurniadi Ilham - Padang (2015) |
Beberapa waktu yang lalu saya membaca satu buku berjudul Kisah Mata karangan Seno Gumira. Saya baru membaca sebagian kecil saja tapi saya sudah mendapatkan banyak pelajaran. Ada dua kalimat yang saya suka, akan saya kutip disini. Yang pertama adalah "Kalimat fotografer Alfred Stieglitz (1864-1946) menunjuk kepada suatu asumsi: Fotografi dipercaya tanpa syarat sebagai pencerminan kembali realitas". Yang kedua adalah "Dunia dalam pandangan realisme terwakili oleh konsep Karl R. popper tentang Tiga Dunia. Terdapat Dunia I yang merupakan kenyataan fisik dunia ini, Dunia 2 yang merupakan dunia dalam diri manusia, dan Dunia 3 adalah hasil ciptaan manusia, yang tentu saja adalah interaksi antara Dunia 1 dan Dunia 2".
Realisme Popper ini bisa diandalkan sebagai menerima fotografi yang mendeskripsikan dan memberikan eksplanasi tentang dunia, dengan bantuan teori. Artinya, teori bukanlah penjelasan final tentang realitas, tetapi secuil demi secuil mendekati apa yang disebut kebenaran. Jadi dalam konteks Popper, fotografi betapapun adalah obyektif, bisa dipisahkan dari subjek-subjek pendukungnya. Ketika menjadi obyektif maka fotografi menjadi solusi tentatif.
Kurniadi Ilham - Padang (2014) |
Kata-kata tentatif seakan menjadi kunci untuk kita mempertanyakan sebuah obyektifitas. Misalnya satu foto yang memiliki 'sense of tragedy' dan disekelilingnya ada banyak orang yang sedang bersuka-ria. Akan banyak pendapat yang muncul tentang foto seperti ini, positif, netral, atau negatif. Well, disinilah peran fotografer, bukan hanya untuk menangkap sebuah realita dan menyajikannya sesuai dengan keadaan aslinya, tapi ia bisa memasukkan ide nya kesana. Apakah untuk membiarkan audience untuk berpikir atau menyajikan ceritanya secara detail?
Saya baru saja mencari definisi egoisme di wikipedia, kira-kira seperti ini. "Egoisme merupakan motivasi untuk mempertahankan dan meningkatkan pandangan yang hanya menguntungkan diri sendiri". Bagi saya sendiri, egoisme adalah menunjukkan pandangan pribadi kita. Menguntungkan diri sendiri atau menguntungkan orang banyak, bagi saya itu tidak ada masalah.
We see what we want, dan itu saya sajikan ke dalam karya. Jika orang melihat karya saya, maka yang sebenarnya ingin saya perlihatkan adalah, ini adalah pandangan saya terhadap dunia, kalau pandanganmu berbeda dengan saya, itu terserah kamu, kamu adalah kamu, saya adalah saya. Gila, saya ngomong udah kayak peran antagonis aja ya. Huahaha sana panggil ibu peri *evil. Maaf saya menceritakannya jadi berasa jahat ya, tapi sebenarnya hal ini baik. Menjadi diri sendiri tentu lebih baik daripada hidup dalam kepura-puraan.
Kurniadi Ilham - Padang Panjang (2014) |
Lantas bagaimana dengan etika? Walau kita melihat dengan cara pandang kita, namun kita juga harus memperhatikan situasi sekitar. Misalnya saya sedang berada di sebuah pasar tradisional, dan saya memotret kondisi disana. Ternyata ada yang merasa kurang nyaman, seperti ibu-ibu yang sedang menyusui anaknya. Disini etika kita ditanya, saya memilih untuk pindah lokasi, atau tidak menggunakan kamera sama sekali. Kalau masih memilih tetap disana dengan kondisi seperti itu, dan kamu tidak peka, maka saya boleh bilang kamu adalah orang yang etika nya kurang.
Street photography adalah fotografi yang bercerita tentang situasi di ruang publik, banyak hal terjadi disana. Fotografer yang ingin mengabadikan momen di ruang publik ini boleh memilih untuk merekam sesuai dengan realita nya, bisa juga memperlihatkan pada audience tentang pandangannya, atau ingin merubah kondisi tersebut dalam sebuah foto.
Sampai jumpa di postingan selanjutnya, masih ada part II nya. Jadi bagi yang gak mau ketinggalan, ikuti terus blog saya, add to circle atau subscribe.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar