Tulisan asli oleh Irma Chantily
Direpost dan disadur oleh Kurniadi Ilham & Maklum Foto
=======================================
[Temukan juga tulisan saya di https://maklumfoto.wordpress.com/]
Street photography telah jadi topik hangat beberapa tahun belakangan ini. Semakin banyak fotografer, baik yang profesional maupun yang amatir, memotret jalan-jalan dan orang- orang di sekitar mereka. Ketenaran pendekatan ini tak bisa dipisahkan dari kepopuleran internet dan media sosial, tempat setiap orang berhak memamerkan jurnal visual keseharian mereka dan orang lain punya hak yang sama untuk memuja atau menghujat karya-karya tersebut. Kemunculan dan ketenaran beberapa situs yang didedikasikan untuk street photography, seperti Invisible Photographer Asia dan Sidewalker Asia, juga turut membantu penyebarluasan gaya ini di masyarakat. Para street photographer—bolehlah kita sebut mereka fotografer jalanan—jadi punya ruang khusus untuk bersanding dengan rekan- rekannya dari seluruh penjuru dunia. Ruang yang bukan untuk snapshot, bukan pula dokumenter, jurnalistik atau fotografi seni.
Layaknya sesuatu yang “baru”—dan seakan tak dikenal sebelumnya—banyak kalangan yang kemudian sibuk mencoba merumuskan apa dan bagaimana sebetulnya fotografi jalanan—dan dengan demikian, apa yang tidak termasuk ke dalamnya. Coba saja pergunakan telusuri arti kata kunci street photography di jagat maya. Banyak sekali arti akan ditawarkan, semuanya menyodorkan istilah dan aturan yang “seharusnya” diterapkan ketika hendak mempraktikkan fotografi jalanan. Padahal, ibarat lagu lama aransemen baru, gaya dan pendekatan ini bukanlah sesuatu yang baru muncul ketika teknologi kamera dan internet sudah semaju sekarang.
Perkembangan praktik dan pendekatan fotografi jalanan—layaknya praktik dan pendekatan fotografi yang lain, tak bisa dipisahkan dari sejarah dan kemajuan teknologi kamera itu sendiri. Kedua hal ini akan saling mempengaruhi, mendukung dan bereaksi— saling berkelindan hingga ke bentuk fotografi jalanan yang lazim kita temui dewasa ini.
Tulisan ini hendak mencoba menjabarkan peranan rantai sejarah dan perdebatan yang mengiringi tumbuh-kembang fotografi jalanan ke dalam dua bagian yang terpisah. Bagian yang pertama akan melihat para fotografer yang dianggap telah menghasilkan karya fotografi jalanan sejak abad ke-19. Bagian selanjutnya bermaksud menguraikan beberapa pokok perdebatan yang sering kali terbit ketika membicarakan praktik fotografi jalanan.
Fotografer Keliling Monas dan Tradisi Awal Street Photography
Pernah bertemu orang-orang yang berkeliling dan menawarkan jasa fotografi kepada anda di Monas? Mereka sudah beroperasi di Monas sejak 1970-an. Jika mau memiliki tanda bukti atas kunjungan anda ke sini, anda bisa memanfaatkan jasa mereka. Berposelah di monumen kebanggaan Soekarno itu; berlagak seperti anda sedang menyentuh, memeluk, atau mendudukinya. Sang fotografer akan memotret anda—memanfaatkan perspektif, kedalaman, serta cara pandang lensa. Hasil potret bisa langsung dicetak untuk anda bawa pulang. Sekitar lima tahun yang lalu, anda tinggal merogoh kocek sebesar sekitar Rp15.000 dan kenang-kenangan itu akan menjadi milik anda selamanya.
Yang dilakukan oleh para fotografer Monas itulah kira-kira yang disebut Colin Westerbeck dalam buku Bystander: A History of Street Photography (1994) sebagai awal mula pendekatan ini. Fotografer jalanan adalah orang-orang yang berada di ruang publik dengan kamera dan menawarkan jasa fotografi kepada orang yang lalu-lalang . Namun menolehlah lagi ke belakang, dan kita akan menemukan sesungguhnya gaya fotografi jalanan sudah dipraktikkan jauh sebelum kita banyak berdebat tentang definisi dan aturan yang mengikatnya di abad ke-21 ini. Jauh ke belakang, hingga kita bisa menemukan acuan visual fotografi jalanan dari karya-karya lukisan.
Kelahiran fotografi di Eropa bersamaan dengan Revolusi Industri, ketika metode kerja manusia perlahan mulai terotomatisasi dan kemajuan teknologi serta beragam penemuan baru di bidang optikal dan kimiawi semakin memudahkan hidup manusia. Masyarakat abad ke-19 menganggap mereka tengah berada di titik puncak kemajuan teknologi. Demikianlah kota-kota baru bermunculan bersamaan dengan globalisasi dan urbanisasi. Lanskap berubah. Masyarakat yang anonim tinggal bersama, dibatasi dinding, dan berpapasan hanya di ruang publik.
Realitas yang baru itulah yang dengan semangat diabadikan menggunakan fotografi. Kemampuan medium ini untuk merekam momen dengan cepat telah melampaui apa yang pernah dibayangkan manusia—yang selama ini tergantung pada para pelukis dan karya mereka untuk merepresentasikan sekeliling kita lewat citraan visual. Dengan cepat fotografi—dan fotografer—memanfaatkan momentum itu; mereka mendokumentasikan apa saja yang ada di sekeliling mereka: orang, bangunan, lanskap, interaksi manusia dengan sesama manusia serta interaksi manusia dengan lingkungannya.
Hubungan fotografer dengan kota memang selalu erat. Hampir semua jagoan fotografi kaliber dunia yang kita kenal pernah memotret kota tempat mereka tinggal dan jalan-jalan yang mereka susuri. Tak heran pula jika hasil penelusuran atas sejarah fotografi akan memperlihatkan bahwa foto-foto yang pertama diambil adalah yang memperlihatkan jalanan, atau yang diambil di jalanan. Ingatlah daguerreotype buatan Louis Daguerre (1787-1851) Boulevard du Temple (1938). Karya itu adalah salah satu gambar pertama yang memperlihatkan jalanan, sekaligus mengabadikan orang di dalam sebidang foto.
|
Louis Daguerre, Boulevard du Temple (1938) |
Berangkat dari asal kata dan sejarah yang meliputi gaya ini, bisa kita tarik kesimpulan bahwa fotografi jalanan adalah foto-foto yang dihasilkan di jalanan dan yang merekam kehidupan orang lalu-lalang. Tentu saja definisi sangat sederhana ini kemudian mengalami perkembangan dan perdebatan karena adanya perubahan realitas sosial dan perkembangan teknologi kamera itu sendiri. Kini fotografi jalanan tidak lagi melulu berarti diambil di jalanan, ia bisa jadi diambil di ruang publik mana pun—pantai, taman, kafe, mal atau tempat terbuka mana pun lainnya yang mengizinkan orang-orang yang tak saling kenal mengaksesnya secara bersamaan.
Dalam bentuknya yang paling dasar, fotografi jalanan misalnya telah dilakukan oleh Eugene Atget (1857-1927) pada awal abad ke-20. Karya-karya Atget atas pendokumentasian kota Paris tua yang ekstensif bisa kita kenal berkat fotografer jalanan lainnya, Berenice Abbott (1898-1991). Abbott kemudian melakukan hal yang sama di kota tempat ia berasal, New York. Koleksi Atget di Paris dan Abbott di New York memperlihatkan kepada kita pengamatan atas detail desain interior yang kaya dan lanskap kota beserta bangunannya. Karya kedua fotografer ini tidak hanya memperlihatkan bangunan dan bentuk arsitektur, tapi juga konteks tempat bangunan itu berada. Mereka memotret jalanan, ruang dan orang- orang yang menempatinya. Melalui foto-foto Atget jugalah, kelompok surrealis seakan menemukan visi mereka tentang kota idaman; labirin urban tentang memori dan harapan.
Lain halnya dengan Robert Doisneau (1912-1994). Fotografer ini dikenal karena kefasihannya mendokumentasikan kehidupan di seputar kafe-kafe di Paris. Sebagai fotografer lepas pada 1950-an, Doisneau berhasil merekam momen dan warna kehidupan kota tersebut, sering kali dengan jepretan yang jenaka dan penuh empati. Foto-fotonya mengalun ringan, seringan langkahnya ketika menyusuri dan mengamati pasangan muda berciuman, pelukis melukis di jembatan, atau perempuan muda yang menikmati segelas anggur merah.
|
Robert Doisneau, Un Regard Oblique (1948) |
Mungkin di antara sekian banyak fotografer jalanan yang telah menorehkan perannya dalam perkembangan gaya ini, Henri Cartier-Bresson adalah nama yang paling dikenal. Dengan “decisive moment”-nya, Bresson dikenal luas atas karya-karyanya yang dinamis, puitis dan penuh pertimbangan komposisi yang seimbang dan sering kali serupa mimpi. Lebih ingin dianggap sebagai fotografer surrealis daripada label lainnya, Bresson kerap memanfaatkan perspektif dan unsur dua dimensi dari foto untuk memberikan cara pandang yang khas tentang apa-apa yang terjadi di jalanan.
Jika kita lihat karyanya yang dibuat di Naples (1960), kita akan melihat bagaimana dengan cermat Bresson membuat subyeknya seakan berjalan menuruni pegangan tangga. Atau bagaimana dengan mengamati fotonya yang mungkin paling sering dijadikan rujukan, kita bisa melihat dua sosok yang melompat, menghasilkan komposisi dan keseimbangan yang sempurna. Foto-foto Bresson yang lain juga kerap memanfaatkan kekuatan bayangan dan komposisi terang-gelap—menjadikan subyek yang ia foto kurang penting di hadapan bayangan dan menghadirkan bentuk geometri yang kuat.
|
Henri Cartier-Bresson – France (1932) |
Perkembangan teknologi kamera juga telah mengizinkan para fotografer menjelajahi cara pengambilan gambar yang berbeda dan merekam kota mereka dengan sapuan pandang yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Kredo “Decisive moment”-nya Bresson mengandaikan adanya momen puncak dalam sebuah keadaan, ketika setiap elemen dalam bidang foto akan bergerak dan menempati posisi yang paling sempurna—momen puncak yang diakhiri ketika sang fotografer menekan tombol shutter.
Tanpa kehadiran kamera yang ringan, atau film yang memiliki kepekaan cahaya yang cukup tinggi, momen yang berkelebat bisa jadi terlalu sulit untuk diabadikan. Kemajuan teknologi kamera juga menjelmakan aplikasi teknis memotret yang dilakukan oleh Alexander Rodchenko (1891-1956), menghadirkan sudut pandang yang tak pernah terlihat sebelumnya. Rodchenko dikenal atas karya-karya foto yang berani dan tidak biasa. Ia memanfaatkan latar belakangnya sebagai pematung, pelukis dan desainer grafis, untuk menjelajahi beragam perspektif dan bentuk geometri untuk menghasilkan karya yang kuat secara visual dan berkesan modern dengan perspektif yang ekstrem.
Perkembangan teknologi kamera juga telah mengizinkan para fotografer menjelajahi cara pengambilan gambar yang berbeda dan merekam kota mereka dengan sapuan pandang yang tak pernah dilakukan sebelumnya. Kredo “Decisive moment”-nya Bresson mengandaikan adanya momen puncak dalam sebuah keadaan, ketika setiap elemen dalam bidang foto akan bergerak dan menempati posisi yang paling sempurna—momen puncak yang diakhiri ketika sang fotografer menekan tombol shutter.
Tanpa kehadiran kamera yang ringan, atau film yang memiliki kepekaan cahaya yang cukup tinggi, momen yang berkelebat bisa jadi terlalu sulit untuk diabadikan. Kemajuan teknologi kamera juga menjelmakan aplikasi teknis memotret yang dilakukan oleh Alexander Rodchenko (1891-1956), menghadirkan sudut pandang yang tak pernah terlihat sebelumnya. Rodchenko dikenal atas karya-karya foto yang berani dan tidak biasa. Ia memanfaatkan latar belakangnya sebagai pematung, pelukis dan desainer grafis, untuk menjelajahi beragam perspektif dan bentuk geometri untuk menghasilkan karya yang kuat secara visual dan berkesan modern dengan perspektif yang ekstrem.
|
Alexander Rodchenko, Street |
Melalui sudut pandang yang sama sekali baru, karya-karya Rodchenko mencerminkan semangat revolusi Rusia dan Konstruksivisme yang ketika itu sedang berkembang: menggunakan aspek baru dalam berkesenian untuk mendapatkan hasil yang revolusioner.
Tentu saja, banyak fotografer lainnya yang patut disebut dalam kerangka fotografi jalanan. Dari Amerika dan Eropa kita mengenal karya-karya yang dihasilkan oleh Robert Frank, Diane Arbus, Jacob Riis, Walker Evans. Dari Jepang, Daido Moriyama dan Kohei Yoshiyuki memperlihatkan kepiawaiannya sebagai fotografer yang tak kasat mata di ruang publik dan menelanjangi kehidupan masyarakat Jepang. Semuanya berawal dari praktik para fotografer untuk mendokumentasikan kehidupan sehari-hari yang terjadi di jalanan, di ruang publik—mendokumentasikan sejarah, mengabadikan yang sesaat sebelum kemudian hilang dimakan waktu.
Layaknya genre dan pendekatan fotografi yang lain, definisi fotografi jalanan dan bagaimana gaya ini dipraktikkan oleh para fotografer juga terus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Serupa definisi fotografi dokumenter; awalnya hanya berarti mendokumentasikan, lalu akademisi mulai mengimbuhi genre ini dengan pesan sosial atau narasi besar lainnya, dan terus berubah hingga kini fotografi dokumenter bisa bercerita tentang bragam perspektif, baik narasi besar atau pun narasi kecil yang lebih personal.
Tak berbeda dengan fotografi jalanan. Banyak jenis karya dan pendekatan yang bisa dianggap sebagai fotografi jalanan, meski tak semuanya adalah fotografi jalanan. Memotret dengan seketika, snapshot, bisa jadi adalah salah satu bentuk dari fotografi jalanan. Namun tentu tak semua snapshot adalah fotografi jalanan. Jika saja kita sedikit membebaskan diri dari kota-kotak genre fotografi, kita bisa melihat bahwa fotografer yang ingin mengabadikan kota yang tengah berubah dan bagaimana masyarakat sekeliling mereka hidup adalah manifestasi dari fotografi jalanan. Begitu pula dengan para fotografer yang menawarkan jasa fotografi kepada orang di ruang publik. Tak ketinggalan adalah para fotografer yang kuat dalam opini ideologi dan menggunakan fotografi sebagai medium berekspresi.
Perdebatan yang Menghangat
Hal lain yang selayaknya turut dicermati ketika membicarakan soal fotografi adalah konteks konotasi yang dihasilkan dari pembuatan sebuah foto—atau bagaimana cara memotretnya; candid atau tidak, sudut pandang dan fokus, dan lain sebagainya. Selain itu, perdebatan juga biasa melibatkan tempat foto diambil, subyek dan obyek yang “seharusnya” ada, serta aspek teknis lainnya, seperti jenis kamera yang digunakan, penggunaan flash, editing gambar dan lain-lain.
Sudah tentu, perdebatan tentang soal-soal tadi selalu membuat perkembangan medium terkait jadi lebih dinamis. Begitu pula dengan fotografi. Sejak pertama kali muncul, kehadiran fotografi sudah mengundang kontroversi—baik dari kalangan di luar praktisi fotografi, atau pun sesama fotografer yang berbeda “kubu”. Misalnya saja perdebatan tentang apakah sebuah foto itu subyektif atau obyektif. Jika mengikuti dalil John Berger dalam bukunya yang bertajuk Another Way of Telling, maka fotografi sesungguhnya mengutip realitas—bukan menerjemahkannya seperti lukisan. Foto, yang dihasilkan dalam sepersekian detik menggunakan refleksi cahaya atas benda-benda, adalah gambar visual tanpa kode, pengalaman atau pun kesadaran.
Contoh lain adalah perdebatan laten di kalangan fotografer jurnalistik dan dokumenter: jika fotografi adalah penghadir realita, maka sejauh mana hasil karya foto boleh dimanipulasi? Dulu foto dokumenter harus diberi bingkai hitam sebagai tanda bahwa segala sesuatu yang terfoto sesuai asli dan tidak ada yang diubah dengan sengaja. Menggunakan flash juga tidak diizinkan karena dianggap memberikan elemen tambahan pada realitas yang hendak ditangkap.
Soal menggunakan flash ini juga turut menjadi salah satu butir yang didiskusikan dalam ranah fotografi jalanan. Ada kelompok yang menolak penggunaan flash, ada yang mengamini saja. Child with Toy Hand Grenade in Central Park karya Diane Arbus (1923-1971) jelas dibuat menggunakan flash. Cahaya matahari yang jatuh ke arah lensa akan menutupi wajah si anak jika Arbus tidak menggunakan flash. Praktik yang sama juga dilakukan oleh Jacob Riis (1849-1914), fotografer jurnalistik Amerika Serikat pertama. Ia menggunakan flash powder untuk membantu pemotretan di tempat-tempat yang biasa ia datangi: ruangan kumuh dan gelap, bar tak berjendela dengan langit-langit rendah, kamar sempit yang ditempati banyak orang, dan jalan-jalan yang muram tempat berdiamnya kelompok masyarakat miskin di New York.
|
Diane Arbus, Child with Toy Hand Grenade in Central Park, New York City (1962) |
Liz Wells, editor buku Photography: A Critical Introduction, mengatakan bahwa melakukan cropping dan mengubah warna foto dokumenter bisa membuat anda kehilangan kredibilitas sebagai seorang fotografer. Hingga kini perdebatan itu masih berlanjut dan justru sempat menghangat ketika Photography menawarkan jasa untuk sedikit “memperbaiki” warna foto secara digital. Padahal, menurut Victor Burgin, manipulasi adalah esensi dari fotografi. Para fotografer adalah orang-orang yang memanipulasi aspek fisik dan produksi foto: kamera, film, cahaya, obyek dan manusia. Semua itu dilakukan fotografer untuk mereproduksi citraan dunia sebagai “obyek kontemplasi visual”.
Subyektivitas dalam fotografi dan kesadaran “memanipulasi” tertuang dalam gaya fotografi jalanan modern yang berkembang di Amerika pada 1950-an. Ketika itu, representasi visual yang terbut adalah yang menawarkan bentuk visual yang spontan dan langsung, subyektif, serta mampu memperlihatkan emosi suatu zaman. Bantahan Robert Frank (lahir 1924) atas kredo “decisive moment”-nya Bresson turut berperan dalam perkembangan konsep fotografi jalanan yang baru. Bagi Frank, semua momen adalah puncak dan bernilai, ditandai dengan keputusan seorang fotografer untuk mengabadikan momen tersebut dengan kamerany. Fotografi jalanan dianggap bertujuan mencari momen acak di ruang publik, menemukan ketakterdugaan di tengah komposisi yang tersusun rapi.
|
Robert Frank, Political Rally (1956) |
Menemukan ketakterdugaan dengan komposisi dan jukstaposisi yang kuat di ruang publik bisa menghasilkan foto jalanan yang menarik. Sulit, memang. Tapi justru di situlah letak tantangan para fotografer jalanan dewasa ini. Menyeimbangkan semua elemen tadi, dan menghindari citra yang klise—semua itu untuk menemukan acuan visual termutakhir bagi fotografi jalanan.
Mempelajari sejarah dan menoleh ke belakang bukanlah semata usaha bernostalgia dan menumbuhkan romantisme. Masa lalu bisa mengajarkan kita akan perjalanan panjang praktik fotografi jalanan, bagaimana ia berkelindan dengan medium lain, situasi sosial, politik, serta kemajuan teknologi kamera. Saling mempengaruhi di antara semua aspek tadi pada akhirnya akan menerbitkan referensi visual dan pewacanaan fotografi yang terus menerus terbarui.
==========================================================
Profil Irma Chantily
Irma Chantily lahir di Jakarta, 1985. Ia adalah penikmat fotografi, meski sama sekali bukan fotografer. Ia beberapa kali menulis tentang fotografi di media massa cetak dan online serta terlibat dalam produksi pameran foto atau seni rupa—baik sebagai kepala proyek, kurator, asisten kurator, penulis atau pun editor. Walau belum cukup sering atau pun mahir, Irma juga gemar melibatkan diri pada beberapa proyek penelitian fotografi Indonesia. Bersama dua rekannya, ia membuat sejarahfoto.com, sebuah inisiatif untuk mencoba memetakan sejarah fotografi Indonesia. Pada 2011, Irma bergabung dengan Komunitas Salihara dan satu tahun kemudian ia menjadi manajer arsip dan dokumentasi—sambil terkadang tetap memenuhi panggilan untuk menjadi pengajar lepas di Program Studi Fotografi, Institut Kesenian Jakarta.
==========================================================
Sumber
Liz Wells, ed., Photography: A Critical Introduction (2004), 100
dan berbagai sumber yang relevan